Burasin, M.Pd.
Langit di desa Sukamaju pagi itu mendung, seolah menggambarkan hati Dita yang sedang gelisah. Gadis berusia 16 tahun itu baru saja menerima kabar dari ayahnya yang merantau ke kota besar: penghasilannya tidak cukup untuk mengirim uang kembali ke desa bulan ini. Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan, pekerjaan yang tak selalu menjanjikan penghasilan tetap. Di rumah, Dita hanya tinggal bersama ibu dan adiknya yang masih kecil, Rian. Beban hidup yang semakin berat membuat Dita harus berpikir keras bagaimana caranya membantu keluarganya.
Dita adalah siswa kelas 11 di SMA Sukamaju. Meskipun ia tergolong pintar di sekolah, keadaan ekonomi keluarganya memaksanya memikirkan pilihan-pilihan sulit. Haruskah ia berhenti sekolah untuk bekerja? Namun, ibu Dita selalu menyemangatinya.
“Sekolah itu penting, Nak. Pendidikan adalah jembatan ke masa depan yang lebih baik. Jangan pernah menyerah,” ujar ibunya sambil menepuk pundaknya.
Berpegang pada kata-kata ibunya, Dita memutuskan untuk tidak menyerah. Ia mulai mencari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilakukannya setelah sekolah. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Dita diterima sebagai pelayan di sebuah warung makan sederhana di desanya. Pekerjaannya tidak mudah; ia harus membersihkan meja, mencuci piring, dan melayani pelanggan hingga larut malam. Namun, ia melakukannya dengan sepenuh hati.
Meski begitu, tantangan tidak berhenti di situ. Rasa lelah sering menghampirinya, terutama saat ia harus belajar untuk ujian setelah pulang bekerja. Beberapa kali, Dita tertidur di atas buku-bukunya dengan seragam kerja yang masih melekat. Guru-gurunya di sekolah pun menyadari perubahan itu. Wajah Dita yang dulu selalu ceria kini sering tampak lesu.
“Dita, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Bu Maya, wali kelasnya, suatu hari.
Dita mengangguk dan tersenyum kecil. “Saya baik, Bu. Hanya sedikit lelah.”
Bu Maya tahu ada sesuatu yang lebih besar yang disembunyikan Dita, tetapi ia memutuskan untuk mendukungnya dengan cara lain. Ia mulai memberikan Dita buku-buku tambahan untuk dipelajari di rumah, berharap gadis itu tidak ketinggalan pelajaran.
Hari-hari terus berlalu, dan Dita semakin terbiasa dengan rutinitasnya. Ia menyadari bahwa bekerja di warung makan memberinya pelajaran berharga tentang tanggung jawab dan ketekunan. Di sisi lain, Dita mulai melihat peluang di sekitarnya. Ia memperhatikan bahwa warung tempatnya bekerja sering kehabisan stok makanan ringan seperti keripik singkong dan kue basah yang banyak diminati pelanggan.
“Bagaimana kalau aku mencoba membuat kue sendiri?” pikir Dita suatu malam. Dengan bantuan ibunya, ia mulai bereksperimen membuat kue-kue kecil di dapur rumah mereka. Awalnya, kue itu hanya dijual di warung tempatnya bekerja. Namun, tak disangka, kue buatan Dita mendapat banyak pujian dari pelanggan.
“Enak sekali, Dek. Besok saya pesan lagi, ya,” kata seorang pelanggan sambil tersenyum puas.
Semangat Dita pun semakin menyala. Ia mulai memanfaatkan media sosial sederhana di desanya untuk memasarkan produknya. Pelanggan dari desa sebelah bahkan mulai berdatangan untuk memesan kue buatannya. Dengan penghasilan tambahan ini, Dita bisa membantu biaya sekolah Rian dan meringankan beban ibunya.
Namun, jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Suatu hari, Dita mendapat kabar buruk: warung tempatnya bekerja akan tutup karena pemiliknya pindah ke luar kota. Hal ini membuat Dita kehilangan satu-satunya tempat untuk menjual kue-kue buatannya. Ia merasa kecewa dan putus asa.
“Apa aku harus berhenti saja?” gumamnya sambil menatap langit malam yang penuh bintang.
Tapi, seperti biasanya, ibunya memberikan nasihat yang menenangkan.
“Nak, jangan berhenti di tengah jalan. Kalau satu pintu tertutup, carilah pintu lain yang terbuka.”
Kata-kata itu membangkitkan semangat Dita. Ia memutuskan untuk menjual kue-kue buatannya di pasar tradisional setiap akhir pekan. Di sana, ia bertemu dengan banyak pelanggan baru yang memberikan dukungan dan motivasi. Bahkan, beberapa pedagang di pasar menawarkan kerja sama untuk menjual kue buatannya di kios mereka.
Usaha keras Dita mulai membuahkan hasil. Dengan tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun, Dita membuka toko kue kecil di desanya. Toko itu diberi nama “Langit Ceria”, terinspirasi dari perjuangannya yang panjang dan penuh liku. Kue-kue buatannya semakin dikenal luas, bahkan beberapa toko besar di kota mulai memesan produknya.
Kini, Dita tidak hanya menjadi seorang siswa SMA biasa, tetapi juga seorang pengusaha muda yang sukses. Ia tetap melanjutkan sekolahnya hingga lulus dengan nilai terbaik. Dita bahkan mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di bidang manajemen bisnis.
Di hari kelulusannya, ayahnya yang telah kembali dari perantauan memeluknya dengan haru.
“Ayah bangga padamu, Nak. Kamu membuktikan bahwa kesulitan bukanlah akhir dari segalanya.”
Dita tersenyum sambil menatap langit biru yang cerah, seolah mengingatkan dirinya bahwa setelah hujan deras, selalu ada pelangi yang indah. Kini, ia tidak hanya berhasil membantu keluarganya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak anak muda di desanya untuk tidak pernah menyerah pada keadaan.